
Syukurlah, ketika tulisan ini aku buat, pemerintah sudah memulai vaksinasi Covid-19 untuk para lansia. Namun begitu, vaksinasi juga tidak 100% membebaskan lansia terpapar oleh virus. Lebih-lebih, belum semua lansia berkesempatan mendapat giliran disuntik vaksin. Lalu, jika lansia kena Covid-19, harus bagaimana? Panik? Pasti. Takut dan khawatir? Tentu. Selama ini kita dibayangi oleh ketakutan-ketakutan dari pemberitaan bahwa lansia dan komorbid kena Covid-19 pasti jadi gawat. Namun, yang perlu kita ingat, tak semua kondisi sama. Aku akan cerita perjalanan orang tuaku yang lansia dan komorbid sembuh dari Covid-19.
Selama pandemi, di kepalaku selalu berpikiran tentang kesehatan orang tua karena bapakku penderita diabetes melitus tipe 2, ibuku sempat opnam karena trigliserida tinggi dan infeksi saluran kecing akhir 2020 silam. Namun, Februari lalu, virus ini mampir dan orang pertama yang terpapar Covid-19 justru bapak dan ibuku, yang lansia dan orang yang sangat kami proteksi. Terpapar dari mana? Kami nggak tahu. Tulisan ini sengaja kubuat untuk memotivasi siapapun di luar sana yang sedang berjuang melawan Covid-19, terutama lansia dan komorbid agar tetap semangat dan lekas pulih. Juga mengingatkan semua yang membaca agar tetap berprotokol kesehatan. Karena lansia di sekitar kita bisa jadi yang paling riskan jika tertular.
Gejala Covid-19 tak terdeteksi di UGD RS
Minggu ketiga bulan Februari, ibuku mengeluh sakit perut bawah. Jauh sekali dari gejala umum Covid-19 yang selama ini kita tahu. Aku membawanya ke dokter dekat rumah. Namun, dua hari tak ada perkembangan, lalu kubawa ke RS Harapan, Magelang untuk menemui dokter saat ibuku opnam September 2020 lalu. RS ini memang bukan rujukan Covid-19. Setelah diperiksa, ibuku diminta menjalani tes darah yang akan dilakukan esok harinya.
Sayang, belum sempat tes, malamnya, jam 1 dini hari ibuku mengalami gejala kesemutan, keringat dingin parah, dan perutnya nyeri luar biasa. Ia tak bisa menahan rasa sakit, sehingga berkali-kali yang kudengar adalah suara lirihnya “Gusti, kulo nyuwun kawelasan,” yang artinya Tuhan, saya mohon belas kasihan. Malam itu hujan turun sederas-derasnya. Aku nggak bisa membawa ibu ke RS dengan naik motor. Jadi, kuputuskan menelpon tetangga, meminta maaf dan memohon pertolongan dibawa ke UGD. Kujelaskan kalau ibuku demam karena infeksi saluran kencing. Namun, untuk berjaga, protokol kesehatan tetap harus dilakukan.
Sampai UGD RS, perawat memeriksa catatan medis sebelumnya dan meminta esok hari tetap periksa ke dokter yang merawat. Aku sebenarnya curiga karena ibuku berkata semua badannya nyeri dan sakit sekali saat ditanya perawat. Padahal diagnosa dokter, ibuku mengalami kekambuhan infeksi saluran kencing yang mestinya kalau dipikir dengan logika yang sakit di sekitar perutnya.
Namun, karena pihak RS tidak menunjukkan kecurigaan apapun yang mengarah ke Covid-19, dan ibu tidak mengalami sesak nafas serta gejala umum Covid-19, aku berusaha tenang. Malam itu, ibu dipulangkan ke rumah. Tidak disuruh opnam, tidak diinfus juga selama di UGD. Hanya disuntik anti nyeri dan diberi obat untuk infeksi saluran kencing. Sesampai di rumah, kubilang kepada tetanggaku untuk menyemprot mobil dengan disinfektan karena kita belum tahu ibuku sakit apa.
Dua Lansia Positif Covid-19 Bersamaan

Sudah 3 hari ibu cuma mau makan nasi 3 sendok dan telur saja. Hari itu, mendadak bapakku juga mengeluh badannya meriang. Tenggorokannya aneh, seperti ada pasirnya, sehingga ia memutuskan berenang agar fit lagi.
Sementara itu, aku berunding dengan dua kakakku di Semarang dan Yogya, dan aku ingin agar kami bertiga cek antigen karena aku curiga pada keadaan ibuku yang gejalanya mulai aneh-aneh. Setiap malam tak pernah bisa tidur dan gejalanya semakin melebar jika itu hanya infeksi saluran kencing. Gejala beranekaragam itu muncul bergantian, dan anehnya selalu malam hari. Lidahnya putih seperti orang tipes.
Akhirnya, kami memutuskan keduanya dibawa ke Semarang karena pas waktunya bapakku kontrol diabetes ke dokter spesialis diabetes di Semarang. Rencananya, kami akan sekalian membawa ibu untuk periksa di RS yang lebih besar di ibu kota provinsi. Sesampai di Semarang, kami langsung cek antigen di lab dan hasilnya….
Ibuku positif, bapakku positif. Hanya aku yang negatif.
Duh Gusti! Batinku dalam hati.
Masuk UGD untuk Kedua Kali
Kami memilih RS St Elizabeth karena dokter diabetes bapakku praktek di sana. Ini kedua kalinya ibu masuk UGD. Keadaannya sudah payah, lemas dan kuyu. Ia langsung diinfus tiga botol dan berada di UGD 2 jam. Sedangkan bapakku masih sehat bugar. Bapakku sempat marah-marah. Katanya, “Aku ini sehat begini kok bisa dibilang kena Covid. Alatnya itu yang salah,” ujarnya kepedean pada pak dokter. Hahahahah….

Dokter memberi pilihan kepada kami agar bapak dan ibu: dirawat di RS namun diisolasi dan tak bisa dijenguk, atau rawat jalan dengan dibekali obat-obatan lalu beberapa hari kemudian kontrol kembali. Jika rawat inap, biaya ditanggung Kemenkes, gratis. Jika rawat jalan, karena RS itu bukan RS rujukan Covid namun tetap menerima pasien Covid, maka biaya ditanggung pasien dan tidak dapat diklaim ke BPJS. Saat itu keadaan bapak ibuku:
Tidak ada sesak nafas. Saturasi oksigen 98 yang berarti baik. Demam ibuku 38 tapi turun setelah diinfus dan disuntik obat. Jantung baik. Gula darah stabil. Tensi normal.
Dokter bilang tidak ada kegawatan sehingga bisa saja dirawat jalan. Namun, dokter mewajibkan segera dibawa ke UGD, jika ada gejala-gejala berikut:
- Sesak nafas
- Demam 38 ke atas dan nggak turun-turun
- Muntah-muntah dan tidak ada makanan atau minuman yang bisa masuk ke tubuh
- Nyedi dada tak tertahankan
- Pingsan atau hilang kesadaran
- Saturasi oksigen di bawah 95 terus dan tidak naik-naik
- Khusus untuk bapakku yang diabetes, jika gula darah melonjak per 100 dalam rentang waktu dekat atau turun drastis sekali secara mendadak
Rawat Jalan dan Isolasi
Dokter yang merawat kami di klinik khusus Covid-19 sangat komunikatif. Dia pribadi menyarankan dirawat jalan karena lansia biasanya mentalnya mudah drop, meski jika memilih dirawat di RS pun bisa dan kamar tersedia. Namun, jika dirawat di RS tidak akan bisa bertemu keluarga atau orang lain selain dokter dan perawat.
Berdasarkan pertimbangan itu, kami memutuskan untuk rawat jalan dengan masuk ke hotel khusus isolasi di Hotel Kesambi Hijau Semarang dengan biaya sendiri, karena nggak dicover pemerintah, hahaha (tertawa getir). Hotel ini dipilih karena aku bisa ikut di sana merawat bapak dan ibu meski negatif Covid. Aku sendirian merawat dua lansia sakit Covid. Tidak pernah terbayangkan. Aku yang semula paranoid pada Covid, harus merawat dua orang tua dengan Covid. Ketakutan itu mendadak hilang. Aku nggak takut sama sekali. Sedangkan kakakku bertugas menyuplai logistik.
Awalnya, karena dokter berkata keadaan bapak dan ibu cukup baik, kukira gejala yang muncul tak akan seberapa parah. Ternyata salah besar! Setelah mengalami gejala cukup signifikan selama 5 hari di Magelang, ternyata ibuku masih bergejala sampai masuk hari ke 13 dan selalu malam hari sekitar pukul 10 malam – 3 pagi. Jika kuanalisa, gejala yang muncul sebenarnya adalah gejala dari penyakit lamanya yang muncul dalam waktu bersamaan. Pokoknya kumplit lah kayak nasi rames.
Baca juga: Apa yang Harus dilakukan Jika Terpapar Covid-19?

Gejala berbeda dialami bapakku. Bapakku di 6 hari pertama sejak gejala masih terlihat bugar dan doyan makan, jadi doi rada sombong kalau daya tahan tubuhnya pasti lebih baik daripada ibuku. Tapi memasuki hari ke 7, tubuhnya drop dan mentalnya drop hingga hari ke 21. Gula darah bahkan sempat drop sampai 78.
Aku pun lalu paham, mengapa lansia dan komorbid perlu dilindungi. Karena gejala pada orang tanpa penyakit bawaan bisa menjadi biasa saja, namun bisa sangat menyakitkan dan memunculkan beragam gejala di tubuh lansia dan komorbid.
Bayangan Kematian
Di tengah gejala yangbermacam-macam, bapak dan ibuku bercerita mereka dibayangi kematian. Namun, dalam logikaku meyakini, pikiran itu muncul karena memang fase penyakit ini sangat panjang dan pemberitaan media selalu meng-highlight berita-berita yang memaparkan bahwa lansia dan komorbid menjadi kelompok rentan dengan tingkat kematian tinggi. Sehingga, di kepala selalu tertanam: kalau kena Covid pasti mati! Kalau mati, ditolak dimana-mana.
No.. no… pikiran itu harus dibuang jauh! Aku selalu berkata pada mereka bahwa sakit Covid nggak bisa kita elakkan, tapi berusaha untuk sehat kembali itu harus diperjuangkan! Nggak boleh kalah sama virus yang memporakporandakan kehidupan beberapa hari terakhir ini, jadi harus semangat dan positif thinking. Semakin jelek pikiran, imun akan makin drop. Padahal imun manusia itu kuat. Walaupun ternyata, nasehat-nasehat: jangan lupa gembira dan jangan berpikiran jelek itu amat sulit diterapkan dalam keadaan seperti saat itu sih, jujur.
Berangsur Baik dan Pulih
Di hari ke 12, hasil swab ibuku negatif. Nggak percaya karena saat swab, ibuku masih bergejala cukup parah. Bahkan sempat kubawa ke UGD untuk ketiga kali. Dua hari kemudian swab lagi dan hasilnya tetap negatif. Namun saat itu, karena gejala masih ada sedikit, maka dokter menyarankan tambah isolasi 10 hari.
Bapakku beda lagi. Hasil swab di hari ke 19 masih positif dan bapakku secara mental drop lagi. Mutung nggak mau makan cuma tidur. Mental lansia memang yang paling perlu diberi perhatian khusus karena tidak sabar merasakan fase panjangnya gejala. Ada teman yang cerita, neneknya 80 tahun lebih kena Covid-19. Katanya setiap hari minta mati karena gejala yang dirasakan tak tertahankan. Namun, pada akhirnya sang nenek sembuh setelah melewati hampir 2 bulan dan setelah dites swab 6 kali. Cerita ini yang kusampaikan kepada bapak supaya semangatnya kembali naik. Di hari ke 32 baru hasil swab bapak negatif. Menurut dokter, karena bapak punya diabetes kemungkinan tubuh responnya pun berbeda.
Berjemur dan olah raga di lapangan sepi di masa pemulihan.
Apa yang dikonsumsi dan dilakukan bapak dan ibuku selama covid?
Pulih dari Covid-19 adalah berkah Tuhan yang harus kami syukuri. Namun, sembuh dari Covid juga bukan tanpa usaha dan perjuangan. Tuhan suka pada orang yang berusaha bukan? Jadi, semua hal yang kami tahu bisa menyembuhkan seseorang dari Covid, kuberikan pada bapak dan ibuku. Ada yang dari arahan dokter, ada yang kucari sendiri di internet, ada juga hasil dari nanya-nanya teman yang pernah kena Covid.
Kunci kesembuhan dari Covid-19 sebenarnya adalah gejala diobati, secepat mungkin sejak ada gejala semakin baik. Imun baik dan mental baik. Positif thinking dan bersemangat. Lalu, apa saja yang kami lakukan untuk mengusahakan kesehatan mereka?
Selain konsumsi obat dari dokter RS untuk mengobati gejala, keduanya kuberikan aneka vitamin dan asupan. Baik asupan untuk kesehatan fisik ataupun mental. Juga melakukan aktivitas-aktivitas yang disarankan. Obat sakit bawaan harus banget diminum rutin jika ada.
Vitamin, makanan bergizi, buah banyak, minum banyak, berjemur, dan menggerakkan badan adalah penting dilakukan. Dukungan keluarga dan lingkungan sekitar juga penting karena lansia bisa amat sensitif dan mentalnya drop, sehingga bisa sampai kebawa di alam bawah sadar, mengalami mimpi aneh-aneh dan menakutkan.
Obat-obat yang diminum berdasarkan resep dokter. Kami nggak konsumsi Lian Hua yang termasyur itu karena nggak ngefek. Pernah kuminumkan ke ibu tapi ngga ada efek signifikan. Mungkin Lian Hua bisa diminum ketika gejalanya ringan (mungkin) karena sejatinya Lian Hua adalah obat flu dan ada juga teman yang sembuh dengan minum itu, selain obat dokter. Yang pasti, segeralah ke RS jika gejala yang dirasakan membuat badan tidak nyaman, karena dokter akan memberi resep obat sesuai dengan gejala.
Sepenglihatanku, jika tubuh kita baik, gejala yang muncul tidak aneh-aneh. Namun bisa beda satu dengan yang lain. Tapi bagi lansia dan komorbid, gejala bisa aneh dan sakit banget. Tapi tidak berarti yang lansia dan komorbid nggak bisa sembuh. Jadi, jika kamu muda, harus lebih bertanggung jawab untuk berprotkes.
Bapak dan ibuku sekarang sudah sembuh dan beraktivitas normal. Namun, pengobatan sakit bawaannya tetap berlanjut. Semoga sehat terus.
Lalu, aku bagaimana? Kan kontak erat merawat yah? Hahaha, aku terpapar Covid di dua minggu setelah merawat keduanya. Swab ketigaku positif setelah mengantar ibuku ke UGD yang ketiga kali. Tapi karena udah bisa menulis blog ini berarti akupun sudah sehat 🙂 . Sehat selalu ya semua! Jaga orang tuamu dan dirimu sendiri. Semoga yang saat ini sedang berjuang melawan Covid, cepat pulih! Semangat!