Berkunjung ke kota Cirebon nggak lengkap tanpa mencicipi kulinernya. Dari jajanan pinggir jalan sampai makanan khas Cirebon yang otentik.
Ketika saya berkunjung ke Cirebon beberapa waktu lalu bersama teman-teman, selain sengaja mengunjungi berbagai wisata sejarah yang syarat budaya, berburu kuliner juga menjadi agenda utama. Walaupun tidak semua kuliner bisa kami cicipi karena keterbatasan waktu dan kapasitas perut, setidaknya kami mencicipi beberapa kuliner ini!
Empal Gentong
Kereta api yang mengantarkan kami dari Jakarta ke Cirebon tiba di stasiun Cirebon Prujakan pukul 11.00. Karena sudah mendekati jam makan siang, maka tujuan pertama kami adalah mencari makanan berat. Pilihan jatuh pada makanan khas Cirebon yang paling dicari wisatawan, yaitu empal gentong. Setelah berjalan kaki sekitar 20 menit dari Stasiun Cirebon Prujakan, kami tiba di warung Empal Gentong & Nasi Lengko Ibu Nur di sekitar jalan Kejaksan.

Empal Gentong
Warung ini cukup besar dan nyaman. Ada dua gedung berhadap-hadapan. Sesampai kami di sana, warung tersebut sudah penuh dengan rombongan wisatawan dengan bus yang menyerbu sisi gedung yang lebih besar. Untunglah, masih ada tempat tersisa di warung di seberangnya yang juga dimiliki oleh Ibu Nur. Kami memesan Empal Gentong dengan nasi dan es teh manis.
Sebelumnya, saya berpikir bahwa empal gentong bentuknya seperti empal daging sapi kering yang biasa dijumpai di Jawa Tengah. Ternyata berbeda dengan empal yang ada di bayangan saya. Empal gentong terdiri dari daging sapi yang diiris kecil dan disajikan dengan kuah kuning bersantan yang rasanya menurut saya mirip soto daging. Rasanya enak dan segar dimakan di siang hari. Harganya pun terjangkau. Kami makan berempat totalnya sekitar Rp130.000,- sudah dengan es teh manis dan kerupuk.
Sate Kalong
Yang ini saya tertipu oleh salah satu teman saya yang sebelumnya sudah pernah mencicipi sate kalong di Cirebon saat dia melakukan perjalanan dinas luar kota. Yang ada di benak saya, sate ini adalah sate kelelawar. Karena dalam bahasa Jawa, kalong artinya kelelawar. Tadinya saya enggan ikut makan di sini, namun ketika sampai di warungnya, dengan tertawa iseng, akhirnya teman saya berkata kalau sate ini dinamakan sate kalong karena warungnya hanya buka di malam hari. Antara lega dan juga kesal karena dikerjai! Hahaha…
Sate kalong dibuat dari daging kerbau. Ada yang bagian dagingnya saja, ada juga yang kulitnya. Rasanya, agak unik dan manis. Tekstur dagingnya juga berbeda dengan daging sapi ataupun kambing. Bumbunya bisa memilih bumbu kacang atau bumbu kecap.
Saat makan di sana, kami bertemu dengan rombongan ibu-ibu dan bapak-bapak seusia bapak ibu kami. Mereka berkata, datang ke Cirebon karena reuni dengan teman-teman SMA dan kangen makan sate kalong di sini.
Es Kopyor 4848
Kabarnya es kopyor ini sudah ada sejak dahulu dan terkenal dengan sirupnya yang homemade dan tanpa pengawet. Bisa ditebak dari kiosnya yang tampak khas era tahun 80-90an. Diminum saat siang hari seperti ketika kami tiba di sana, memang sangat menyegarkan.
Kelapa kopyor memang merupakan varietas kelapa yang harganya jauh lebih mahal dan langka dibandingkan dengan kelapa biasa. Rasanya pun berbeda. Jika kelapa biasa lebih padat, kelapa kopyor lebih lunak dan mudah ambyar! Hahaha….
Untuk ukuran di kota kecil seperti Cirebon, harga segelas es kopyor ini lumayan mahal, yaitu Rp40.000,-. Namun, gulanya yang home made memang tidak tertandingi.
Bubur Sop
Malam hari, kami sengaja mencari bubur sop karena penasaran. Ternyata makanan ini adalah semangkok bubur lengkap dengan suiran ayam, kacang, daun bawang, dan kerupuk lalu disiram dengan kuah sop.
Rasanya segar dan khas dengan lada yang menghangatkan tenggorokan. Jika kurang suka dengan pedasnya lada, bisa meminta abangnya untung mengurangi takaran ladanya.
Kedai Kopi Pinggir Jalan
Kehidupan malam di kota Cirebon tidak terlalu ramai seperti di kota-kota besar. Kata teman saya, dulu saat ia masih kecil sering berkunjung ke Cirebon karena ayahnya bekerja di kota itu. Dulu Cirebon tak sesunyi ini. Di berbagai sudut ramai pedagang meski malam hari. Namun sejak jalan tol dibangun dan Cirebon tak lagi menjadi kota transit bagi pengendara mobil dari Jakarta yang menuju ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Cirebon memang tak seriuh dulu.
Pukul 7.30 malam kami bahkan bisa berjalan di tengah-tengah jalan raya tanpa takut tertabrak mobil saking sepinya. Padahal hari itu malam Minggu. Karena kami bosan, kami pun jalan-jalan tak bertujuan. Dan di tengah sepinya malam minggu di Cirebon, kami menemukan kedai kopi yang dibuka tepat di sisi jalan yang sepi tadi. Lumayan, selain kopi, di sana juga menjual jahe dan susu jahe. Tempatnya unik karena berbentuk car shop dan penjualnya anak-anak muda. Harganya juga tidak mahal. Rp6000,- untuk segelas jahe hangat.
Es Durian
Tak jauh dari kedai kopi, kami menemukan warung bakso ramai bukan main. Ingin mencicipi, tapi tak ada tempat tersisa. Akhirnya kami mencoba es durian yang dijual di depan warung bakso itu.
Harganya Rp20.000,- dan duriannya terasa mantap.
Martabak Mini Gerobakan
Sebenarnya martabak ini nggak ada bedanya dengan martabak-martabak mini pada umumnya di kota lain. Kami menemukannya dalam perjalanan mencari warung Empal Gentong dari stasiun Cirebon Prujakan. Karena kelaparan, maka kami berhenti sebentar untuk mengganjal perut. Yang membuat istimewa martabak mini ini adalah dimakan selagi panas dengan keju yang meleleh. Ditambah perut sedang lapar-laparnya.
Sebenarnya masih ada beberapa makanan khas lainnya seperti Nasi Lengko, Docang, Nasi Jamblang dan banyak lagi yang belum sempat dicicipi. Rasanya tak cukup waktu dua hari untuk mencoba semua makanan khas Cirebon. Lain waktu jika berkunjung ke Cirebon lagi, pasti akan dicicipi!
Oh ya, jangan lupa, nasehat dari salah satu teman trip terbaik saya, kalau wisata kuliner usahakan untuk banyak-banyak berjalan kaki. Supaya tetap bisa makan banyak dan kalori cepat terbakar. Jadi, pulang dari trip enggak gendut! Hihihi…
Pingback: Weekend Trip ke Cirebon – Walk With Moon