Kota Cirebon identik dengan kota di pesisir pantai utara Jawa penghasil udang rebon atau kota penghasil batik bermotif Mega Mendung. Cirebon juga kental dengan sejarah perkembangan kerajaan Islam dan tempat salah satu dari Wali Songo, yaitu Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Namun bagi saya pribadi, Cirebon identik dengan penanda bahwa perjalanan dengan kereta api dari Jakarta ke Semarang atau sebaliknya telah menempuh setengah perjalanan. Yup, Cirebon memang kota penghubung dari Jakarta ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Juga merupakan percabangan rute kereta api yang akan melewati jalur utara Pulau Jawa (Tegal, Pekalongan, Semarang, Surabaya) dan jalur selatan Pulau Jawa (Purwokerto, Kutoarjo, Yogyakarta, Solo, Banyuwangi).
Meski sudah tak terhitung banyaknya saya transit di stasiun kota ini, baru sekali ini saya benar-benar berniat meng-explore kota Cirebon.
Beberapa waktu lalu, saya dan tiga orang teman iseng-iseng berkunjung ke Cirebon lantaran saking gatalnya kaki ini ingin jalan-jalan hanya untuk sekedar melepas penat sebentar saja dari rutinitas pekerjaan. Selain hanya memakan waktu 3 jam menumpang kereta api dari Jakarta, biaya trip dari Jakarta ke Cirebon relatif murah. Kota ini juga punya beberapa tempat bersejarah yang tampaknya cukup menarik dikunjungi dan kuliner yang bisa dicicipi.
Weekend trip menuju Cirebon kami mulai di hari Sabtu pagi. Kami mengawali dari stasiun Pasar Senen menumpang kereta ekonomi murah meriah, Tegal Express seharga Rp 45.000 per orang, keberangkatan pukul 07.30 dan turun di stasiun Cirebon Prujakan.
Meski tak memiliki itinerary pasti karena memang hanya ingin melakukan city tour selama weekend saja, sebenarnya saya sudah menyiapkan list beberapa destinasi wisata sejarah yang memungkinkan untuk kami kunjungi dalam waktu singkat. Saya tipe orang yang jarang sekali pergi trip tanpa tahu mau mengunjungi tempat apa saja. Karena bagi saya, tidak mengetahui gambaran destinasi wisata yang ingin dikunjungi hanya akan membuang waktu percuma dan akhirnya liburan justru tidak efektif. Jadi, walaupun ini trip iseng, setidaknya saya sudah mencatat 4 sampai 6 tempat wisata yang akan kami kunjungi selama 2 hari.
Kereta api tiba di stasiun Cirebon Prujakan pukul 11.00 WIB. Di luar prediksi, ternyata begitu kami turun dari kereta api, kota Cirebon menyambut kami dengan matahari super terik dan udara super gerah.
Kami sedikit lupa bahwa Cirebon adalah kota pelabuhan sejak dahulu kala. Sejak tahun 1938 hingga sekarang, Pelabuhan Cirebon menjadi bagian dari Perusahaan Pelabuhan Indonesia II yang menjadi pintu gerbang perekonomian, terutama perdagangan dan distribusi barang antar pulau. Pelabuhan Cirebon juga merupakan pelabuhan alternatif dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Jadi, wajar saja jika udara di Cirebon terasa panas dan gerah khas kota pelabuhan, lebih-lebih di siang hari. Untung saja, saya bawa payung dan sun block untuk perlindungan super.
Karena hari sangat terik, akhirnya kami memutuskan mencari tempat kulineran di pusat kota lebih dulu sebelum meng-explore tempat wisata lebih jauh. Transportasi yang kami gunakan dari stasiun adalah berjalan kaki, hahaha…
Seorang teman berkata kalau kita pergi wisata kulineran, lebih baik banyak berjalan kaki supaya bisa makan apa saja namun kalori cepat terbakar. Jadi, nggak bikin gendut. Rasanya cukup logis!
Hari pertama kami habiskan dengan mencicipi kuliner saja, dari es kopyor, es durian, makanan camilan, jajanan pinggir jalan sampai makanan berat khas Cirebon. Kulner Cirebon yang kami cicipi bisa dibaca di SINI!
Sore harinya, kami mengunjungi Pantai Kajawanan. Pantai tersebut sebetulnya jauh dari ekspektasi kami karena pantainya kurang terawat, fasilitas terkesan seadanya dan kurangnya kesadaran pengunjung untuk membuang sampah pada tempatnya. Namun setidaknya dari sana saya bisa memandangi indahnya matahari terbenam berwarna jingga di antara kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan dan memandangi gunung Ciremai dari kejauhan yang memikat mata.
Selepas senja, kami kembali ke hotel. Sulit sekali menemukan hotel dengan harga terjangkau dan layanan yang lumayan di kota Cirebon. Kami menginap di sebuah hotel Reddoorz dengan harga Rp150.000 per malam dengan letak paling strategis dekat pusat kota. Sayangnya, hotel ini agak spooky meski kamarnya bisa dibilang luas. Seumur-umur saya ngetrip ke sana-sini, baru kali itu saya susah tidur karena kamar hotel yang terasa spooky.
Keesokan harinya, barulah kami beranjak untuk berwisata sejarah. Pukul 08.30 tepat kami keluar hotel dan mulai bertualang karena semakin siang memulai perjalanan, udara semakin panas.
Destinasi wisata sejarah pertama yang kami kunjungi adalah Taman Sari Gua Sunyaragi. Sesuai namanya, Sunyaragi yang berarti sunyi dan raga, tempat ini adalah tempat beristirahat, menyepi dan tempat bertapa para keluarga kerajaan di zaman dulu. Taman gua yang memiliki 13 gua dan dihubungkan oleh lorong-lorong ini dibangun tahun 1536. Konon, gua yang tersusun dari bebatuan ini menggunakan putih telur sebagai perekatnya. Saya lupa berapa tiket masuk ke tempat ini, namun tidak lebih dari Rp20.000.

Taman Sari Gua Sunyaragi
Dari Taman Sari Gua Sunyaragi yang berjarak 15 km dari pusat kota Cirebon, kami bergeser ke Keraton Kasepuhan Cirebon di daerah Lemahwungkuk. Dari keempat keraton yang ada di Cirebon, komplek keraton ini yang paling besar, paling terawat dan dikelola dengan cukup baik sebagai tempat wisata. Keraton yang dibangun tahun 1529 ini memiliki ciri khas bangunan gapura dan siti hinggil yang berada di muka komplek keraton, dibangun dari susunan batu bata. Masuk ke area taman bundaran, ada patung dua harimau putih yang menjadi lambang keluarga kerajaan.
Sebenarnya ada museum yang terdapat di dalam komplek keraton. Sayangnya, untuk bisa masuk ke dalam, masih dikenakan charge biaya lagi sekitar Rp50.000 selain biaya tiket masuk, sehingga kami memutuskan tidak mengunjungi museum ini. Meski gaya bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon ini unik dan memiliki ciri khas tersendiri, sayangnya tidak banyak ruangan-ruangan dalam keraton yang dibuka untuk umum.
Dari Keraton Kasepuhan Cirebon, kami berjalan kaki menuju Keraton Kanoman Cirebon. Di luar dugaan, ternyata bangunan sejarah itu terletak di belakang pasar. Untuk mencapainya, kami berjalan kaki menembus kerumunan pedagang dan keramaian khas pasar tradisional Indonesia. Jalan becek dan dihiasi kantung-kantuung sampah isi sisa-sisa sayur dagangan menjadi pemandangan sejauh mata kami memandang.
Akhirnya kami menemukan bangunan yang kami cari di bagian belakang pasar. Senang rasanya melihat Keraton Kanoman berwarna putih akhirnya berdiri tepat di depan kami. Tampak ada sisa-sisa acara di bagian depan keraton ditandai dengan hiasan-hiasan yang terbuat dari bambu. Sayang, kami hanya bisa menyusuri area depan keraton karena beberapa area terkunci rapat. Kami bertanya pada seorang ibu-ibu bagaimana cara masuk ke dalam keraton. Ibu-ibu tersebut menyuruh kami masuk saja ke dalam lalu menyewa seorang pemandu.
Berbeda dengan Keraton Kasepuhan Cirebon yang memiliki loket tiket masuk resmi dan karcis masuk, di Keraton Kanoman tak ada loket tiket resmi. Keraton ini pun tampak sepi dan nyaris tidak ada wisatawan yang berkunjung. Padahal hari itu adalah hari Minggu.

Keraton Kanoman
Jika ingin berkeliling dan masuk area keraton lebih dalam, wisatawan harus membayar uang sukarela kepada seorang pemandu tidak resmi. Setelah berunding bersama, akhirnya kami memutuskan tidak masuk keraton lebih dalam dan hanya memotret sisi-sisi keraton saja.
Agaknya bangunan bersejarah ini kurang dikelola dengan serius sebagai destinasi wisata yang bernilai jual oleh pemerintah kota. Padahal peninggalan sejarah ini sebenarnya adalah aset yang cukup berharga.
Tadinya, kami ingin mengunjungi 2 keraton lainnya di Cirebon, yaitu Keraton Kacirebonan dan Keraton Keprabon. Namun, keduanya nampak sepi dilihat dari luar, sehingga kami membatalkannya lalu memutuskan istirahat, ngadem dan makan siang di restoran fast food. Baru sore hari pukul 16.00 kami keluar untuk melihat-lihat bangunan-bangunan tua di kota Cirebon. Ada banyak bangunan peninggalan di sepanjang pusat kota Cirebon. Ada yang masih terawat dengan baik. Ada pula yang dibiarkan terbengkalai.
Yang paling menarik perhatian kami adalah Gedung British American Tobacco (BAT) yang masih berada di area Lemahwungkuk. Gedung ini dulunya adalah pabrik rokok terkenal. Namun, sejak pabrik rokok ini pengoperasiannya dipindah ke Malang, gedung BAT kini tidak lagi digunakan. Sudah sekitar 10 tahun gedung ini tidak berfungsi sebagai apapun meski bangunannya nampak sangat indah, megah dan klasik. Menjelang sore, di sekitar gedung BAT ramai dipadati orang-orang yang sekedar ingin nongkrong atau berfoto. Banyak jajanan yang juga bisa dinikmati di seberang gedung BAT.
Selain British American Tobacco, saya juga menyempatkan diri ikut misa di Gereja Santo Yusuf Cirebon. Gedung gereja ini peninggalan Belanda. Mulai dibangun tahun 1878 dan diresmikan tahun 1880, serta merupakan gereja Katolik tertua di Jawa Barat. Bangunan gereja baik di bagian dalam ataupun luar masih sangat terawat dan bersih.
Di tengah-tengah misa, tiba-tiba saya berimajinasi. Membayangkan ratusan tahun lalu, noni-noni dan meneer-meneer Belanda yang duduk di bangku yang saya duduki saat itu. Kalau saya hidup di zaman itu, pastilah saat itu saya memakai kebaya dan kain batik dengan rambut tersanggul, lalu duduk di sebelah noni Belanda berambut pirang yang mengenakan gaun menjuntai hingga lantai.
Tidak terasa, hari mulai senja. Kami harus segera mengejar kereta api. Berbeda dengan perjalanan berangkat dengan kereta ekonomi AC seat 2 – 3, kali ini kami naik kereta api Argo Cheribon, naik dari Stasiun Cirebon dan turun di Stasiun Gambir. Harga tiket kelas ekonomi AC premium Rp115.000 dengan seat 2 – 2 dan lebih nyaman. Untuk tiket kelas eksekutif Rp220.000
Psst, nama keretanya jangan sampai salah. Bukan typo, tapi memang namanya Argo Cheribon, melayani rute Tegal – Cirebon – Jakarta Gambir.