Gunung Gede pun kan Ku Daki

Setelah sekian lama blog ini tertidur pulas, tiba-tiba saja dia terbangun di hari Selasa subuh yang mendung dan gerimis. Yes, tiba-tiba saya tergelitik, gatel banget liat blog ini lama banget mati suri nggak pernah diurusin. Dan, hal yang bikin saya jadi kepengen banget nulis blog adalah pengalaman seru seminggu yang lalu bersama teman-teman pecinta alam Kompas Gramedia Adventure.

Dulu saya selalu beranggapan bahwa orang-orang  yang hobi naik gunung itu kurang kerjaan. Nggak mandi selama berhari-hari, bau, bikin capek diri sendiri dengan jalan dan mendaki ribuan meter cuma buat liat pemandangan. Dan, kini saya menjadi salah satu orang kurang kerjaan itu.

Berawal dari nemu selebaran acara rafting di bazaar kantor, saya dan 4 temen kantor memutuskan uji nyali ikut rafting di sungai Cicatih, Sukabumi, Oktober lalu. Dari kegiatan itu, saya pun jadi kenal beberapa mas dan mbak pecinta alam yang suka berkegiatan di alam bebas. Saya langsung galau ketika beberapa di antara mereka mengajak untuk naik gunung. Ya, gimana nggak galau, seumur-umur belom pernah saya naik gunung. Apalagi kakak saya yang pas kuliah dulu jagoan naik gunung mulai nakut-nakutin dan bikin nggak percaya diri. Yang dibilang saya udah ketuaan lah naik gunung, musim hujan track-nya licin lah, yang dibilang nafas mesti kuat lah, dan segala macam cerita yang bikin nightmare. Padahal, gunung Gede yang letaknya ada di Bogor itu tingginya nggak tinggi-tinggi amat.

Dengan berbekal keyakinan dan treadmill selama hampir 2 minggu yang bolong-bolong, saya pun nekat aja ikutan naik gunung. Bahkan, 80 % peralatan yang saya bawa adalah hasil pinjeman dari teman-teman yang baik hati tiada tara (esp big thanks to mas Firman, mas Boni, mas Wea). Seseorang pernah berkata bahwa di gunung, pribadi seseorang akan ketahuan. Yang benar-benar baik, yang benar-benar bisa disebut teman setia, yang egois, yang manja, yang gampang mengeluh. Semuanya bisa ketahuan saat mendaki gunung.  Dan demikianlah adanya. Seseorang juga pernah berkata bahwa naik gunung itu seperti berperang dengan diri sendiri. Jadi, mesti menyiapkan mental baik-baik.

Mungkin saya termasuk pribadi yang gampang mengeluh dan gampang menyerah, karena baru jalan menuju pintu gerbang pendakian, rasanya udah pengen balik pulang. Jalan tanjakan yang mesti dilalui dengan carrier (tas gunung) yang berat membuat langkah kaki saya kayaknya nggak maju-maju. Tapi untung sih ngeluhnya dalam hati.

Baru sampai pos pertama, kaos seragam keren warna merah abu-abu yang saya pakai udah berubah basah karena keringetan. Saya nggak pernah ngebayangin kalau track pendakian gunung Gede dari Cibodas itu bebatuan yang mirip undak-undakan yang seakan tiada ujungnya. Padahal saya benci banget sama undak-undakan. Setiap kali berhenti di pos, tantangan paling berat adalah 15 menit pertama mengawali pendakian selanjutnya. Rasanya dada sesak seperti kehabisan oksigen, kaki gempor, pundak dan pinggul pegel. Tapi ketika 15 menit pertama itu sudah dilalui, pendakian pun jauh lebih ringan.

Selama pendakian, saya melihat solidaritas sesama pendaki, walau nggak kenal demikian patut diacungi jempol. Di situ, manusia sebagai makhluk sosial benar-benar diuji, meruntuhkan wajah egois dan individualistis Ibukota Jakarta. Rasanya, seperti kembali ke dusun-dusun pelosok, di mana semua orang bisa dengan rendah hati saling menyapa dan peduli meski tidak mengenal satu sama lain. Ada pula yang berbagi air minum dan makanan di tengah perjalanan serta saling menolong pendaki yang terjatuh atau mengalami kram.

Tepat di pos dua, saya kelelahan. Dan senjata yang disebut-sebut dapat meningkatkan energi pun dengan cepat saya makan bersama teman-teman. Yaitu, coklat.  Seorang teman pun berbaik hati bergantian tas. Dia (Mas Siswanto) memanggul tas gede saya, sementara saya membawa daypack kecil. Kami berganti-gantian membawa tas, yang lelah membawa tas kecil, yang kuat membawa carrier besar. Pendakian terasa semakin berat ketika hujan turun. Jalan berbatu jadi licin, belum lagi tanah yang gembur membuat banyak pendaki terpeleset dan tergelincir jatuh. Udara yang demikian dingin dan sejuk bahkan tak berhasil menghentikan tetesan keringat yang mengucur deras. Alhasil, tangan saya dingin tapi badan keringetan.

Sebelum pos 3, kami melewati sisi tebing curam. Uniknya, tebing ini dipenuhi air panas yang mengeluarkan uap hangat. Di dekat pos, ada mata air panas, yang memberikan kenikmatan ketika kaki saya yang pegal direndam di dalamnya. Selepas daerah ini, sudah bisa dipastikan track yang harus kami lewati lebih berat ketimbang sebelumnya. Bahkan, saya ingat banget, salah seorang teman mendekati saya dan mengejek

“Kenapa, capek ya? Udah pengen  nangis  dan pengen balik pulang ya?”

Otomatis saya pun pasang tampang sebal. Tapi, justru dengan ejekan itu, saya jadi makin semangat. Mungkin itu adalah motivasi yang unik karena disampaikan dalam  bentuk ejekan, yang kemudian bikin nggak terima diejek. Jadi, dalam hati saya selalu meyakinkan diri dan terus bilang sama diri sendiri kalau bisa naik sampai puncak. Toh tinggi gunung Gede belum seberapa jika dibandingkan Semeru atau Rinjani.

Untunglah perjalanan berat itu terasa sangat menyenangkan karena teman-teman seperjalanan saya begitu pandai menghibur satu sama lain. Ada yang menyanyi lagu-lagu hits sampai saya pun terbawa ikut menyanyi meski nafas tersengal-sengal. Ada yang menyetel lagu Korea, dangdut, campusari sampai lagu pop rock. Ada juga yang ejek-ejekan dan melemparkan candaan-candaan yang membuat tak tahan untuk tertawa sampai sakit perut. Dan, dengan basah kuyup kami pun akhirnya sampai di kamp bernama Kandang Badak.

Let the rain come down and wash away my tears,

let it fill my soul and drawn my fears

Let it shatter the wall for a new sun. A new day has come…

Perjalanan kami dari Cibodas ke Kandang Badak sendiri membutuhkan waktu sekitar 8 jam.

Semalaman yang dingin membuat tubuh kami yang pegal-pegal serasa membeku. Potter yang membantu kami membawa perlengkapan berkemah, memasak nasi dan sayur sop. Bahan-bahannya tentu sudah disiapkan dari Jakarta. Benar-benar makan besar! Makan dalam kegelapan bersama teman-teman yang baik dan lucu. Bahkan kami bergantian saling nyenterin, hehehe. Setelah itu, kami tertidur dalam tenda dalam dekap dingin dan rintik hujan.

Tantangan tidak berhenti di situ. Jam 4 pagi keesokan harinya kami harus melanjutkan perjalanan dari Kandang Badak menuju puncak gunung Gede. Buat saya, pendakian ini lebih berat ketimbang sebelumya, meski jaraknya lebih pendek. Tanjakan demi tanjakan harus dilalui. Berkali-kali saya melambaikan tangan karena enggak kuat. Dan kembali coklat menjadi makanan utama ketika kelelahan. Udara dingin membuat napas saya tersengal-sengal. Dalam hati saya mengamini perkataan kakak saya, bahwa nafas saya memang nggak cukup kuat untuk mendaki. Beruntung, teman-teman baik itu selalu setia nungguin saya dengan sabar. Untuk mengobati kelelahan, kami pun berhenti dan berfoto-foto ria.

Hanya beberapa meter sebelum mencapai puncak, seorang teman berkata wajah saya pucat pasi. Rasanya kaki pengen diseret aja. Terlebih medan yang berupa pasir dan jalan menanjak, membuat saya ingin berhenti dan menyerah. Entah berapa kali saya ingin menyerah, tapi lelaki-lelaki baik hati di tim saya itu selalu menyemangati, entah dalam bentuk ejekan, kata-kata penyemangat, memberi teh panas yang dibawa dengan potongan botol air mineral, merelakan air minum untuk saya minum hingga membuatkan tongkat dari ranting pohon.

Entah berapa tangan lelaki yang menggenggam erat tangan saya selama pendakian. Bukannya semacam cinlok atau romantisme gitu  sih, tapi karena mereka membantu menarik tubuh saya agar bisa menaiki tanjakan tajam. Sekitar 3 jam, kami sampai juga di puncak. Bau belerang menyengat di udara. Sempat kecewa karena bunga edelweiss tidak mekar karena musim hujan. Sesaat saya tiba di puncak, yang terbersit adalah

“Jalan capek berjam-jam cuma begini nih?”

Tapi ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling…

Praise the Lord!

Pemandangannya bagus banget. Gunung Pangrango di depan kami indah membuai mata. Di bawah sana tampak hamparan perkemahan dengan tenda warna-warni berderet seperti mainan. Kota Bogor yang terselimuti kabut berada jauh di bawah sana, tampak demikian kecil seperti miniatur kota.

Yes, I was standing higher than clouds, higher than hills, also higher than Pangrango mountain!

But, challenge still in the air!

Pulang dari puncak, ada kawasan yang diharus dilalui dengan bantuan tambang. Itu karena berupa tebing setinggi kurang lebih 15 meter dengan kemiringan 45 derajat. Pertama kali akan turun, benar-benar berjuta rasanya. Seperti dipaksa bunuh diri (lebay). Beberapa pendaki meyakinkan saya, tebing ini aman dilalui, asalkan tetap memegang erat tali. Baru setengah jalan, tali saya terlepas dari genggaman. Mungkin karena grogi. Sontak, saya panik. Mau melangkahkan kaki aja susah minta ampun. Akhirnya seorang teman, membantu saya. Dia adalah lelaki kesekian yang menggenggam erat tangan saya (hahaha… Merci beaucoup  mas Wea) dan membantu saya menuruni tebing yang diberi nama “Tanjakan Setan” itu. Anehnya, sampai di bawah, bukannya lega malah ketagihan, kepengen ngulangi lagi, hahaha.

Perjalanan turun gunung lebih cepat dari naik. Tapi tetap saja saya kepayahan. Lutut saya mengalami cedera. Otot seperti tertarik dan saya nggak bisa jalan dengan wajar. Rasanya begitu menyakitkan saat diayunkan menuruni jalanan curam. Karena kasihan pada saya, lagi-lagi di tengah perjalanan, teman saya (mas Dewo dan mas Kobus) membawakan carrier saya. Bahkan salah satu di antara mereka rela membawa tas ransel depan belakang demi menolong saya (how kind you are mas Dewo). Baik banget!

Dengan tertatih-tatih, karena lutut cedera, kami pun sampai di Cibodas. Perjalanan pulang memakan waktu sekitar 5 jam.

Letih luar biasa, tapi bahagia luar biasa.

Tidak hanya karena berhasil menaklukkan gunung dan melihat pemandangan indah, namun karena dalam perjalanan ini saya menemukan teman-teman baru yang baik. Saya belajar untuk menolong orang lain tanpa pamrih, membantu dengan tulus, membagi apapun yang kita punya pada orang lain di sekitar kita, belajar mandiri, nggak gampang mengeluh dan tentu saja mencintai alam.

Dan, hasil naik gunung itu adalah 3 hari jalan ke kantor dengan kaki pincang, hahaha.

But I was really happy. I got so many experiences. I hope we can go climb the mountain together again next time, guys ^_^

Nah inilah foto-foto kami :

KECIL 2. DSC_0050

 

 

Great Friends

 

 

 

KECIL DSC_0039

 

 

KECIL DSC_0054

 

 

KECIL DSC_0089

 

 

KECIL DSC_0103

 

 

KECIL g. DSC_0071

 

 

KECIL DSC_0116

 

 

Thanks to all of you

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.