Sitka. Seperti mimpi rasanya ketika dua tahun lalu, aku menginjakkan kaki di kota yang nyaris berada di ujung tanduk planet Bumi itu. Aku telah lebih dulu jatuh cinta pada kota yang terletak di Baranof Island, salah satu pulau di gugusan Alexander Archipelago yang mengapung anggun di Samudra Pasifik, sebelum akhirnya aku sunguh-sungguh nyata berada di sana.
Aku ingat betul, saat itu, ketika pesawat yang kutumpangi mendarat mulus di Sitka Rocky Gutierrez Airport, hampir aku tak bisa menahan diri untuk tak melompat kegirangan. Ya…apalagi kalau bukan karena akhirnya aku menghirup udara Sitka yang benar-benar mild. Persis seperti yang digambarkan di website The City and Borough of Sitka yang tak jemu-jemunya kubaca setiap malam tiba.
“Mimpimu kelewat tinggi,”aku masih ingat suara itu melengking tajam, menghujam gendang telingaku, di sore yang gerimis.
“Saya tahu, Bos. Tapi bukankah kita harus memiliki mimpi yang tinggi,” jawabku pelan, sehingga hanya terlihat mulutku saja yang nampak berkomat kamit.
“Tapi kau sedang membicarakan Sitka, Jos! Tempat itu letaknya ada di ujung Bumi,”
“Bos, kata Christopher Colombus, Bumi itu bulat. Jadi tidak berujung,”
“Maksudku, tempat yang kausebut tadi letaknya hampir mendekati kutub utara, bukan?”
“Tidak masalah buat saya.”
“Terserah kau saja! Ini surat yang kau minta,” ujar bos sambil menyodorkan selembar surat keterangan pengalaman kerja, dengan kop resmi perusahaan tempatku bekerja selama hampir dua tahun belakangan. “Manfaatkanlah surat ini sebaik mungkin,” lanjutnya lagi.
“Pasti, Bos. Terima kasih,” jawabku sambil tersenyum, lalu bangkit berdiri dari kursi dengan penuh semangat.
“ Josephine, tunggu sebentar!” langkahku terhenti sesaat. “Belajarlah bertahan menghirup udara di bawah suhu 20 derajat. Jangan sampai kamu mati beku. Kamu pikir, aku tidak pernah tahu, kalau jari-jarimu selalu berkerut-kerut ketika suhu AC di ruangan ini sudah mencapai 17 derajat! Dasar gadis udik!” Sejenak aku melongo mendengar lelucon yang terlontar dari mulut bosku.
“Hahaha…tentu saja! Saya pasti akan belajar bertahan hidup di sana, seperti halnya beruang kutub atau penguin,”
Belum pernah kurasakan jiwaku gegap gempita seperti saat itu. Biasanya bosku adalah wanita kaku yang terlalu cuek dengan kepentingan bawahannya untuk berprestasi dan berkembang. Tapi, entah mengapa, bosku mendadak menjelma menjadi ibu peri penolong bersayap transparan, dan berhati mulia.
Segera aku mengirimkan dokumen-dokumen terkait beasiswa itu kepada Professor Dauenhauer via e-mail. Perkenalanku dengan professor itu cukup unik. Bermula ketika aku iseng-iseng mengirimkan surat permohonan pengajuan beasiswa kepada 10 alamat e-mail professor yang kuketahui dari internet secara acak. Professor ini adalah orang pertama yang membalas email-ku sambil mengatakan essay mengenai kehidupan anak-anak jalanan yang kukirimkan kepadanya menyentuh hatinya. Di luar dugaan, beliau menyatakan bersedia membantuku untuk mendapatkan beasiswa di University of Alaska Southeast, universitas tempat beliau mengajar.
Selesai dengan tetek bengek pengiriman dokumen itu, aku kembali ke mejaku dan terpekur di depan layar komputer. Jemariku erat menggenggam mouse dan mencari-cari sebuah nama di list Yahoo Messenger.
Josephine_jo : Ed, kalau suatu hari nanti aku pergi ke luar negeri, mungkinkah kamu akan merindukanku?
Edelweiss_man : Hmmm…sepertinya tidak juga. Memangnya mau pergi ke mana?
Josephine_jo : Tidak ke mana-mana. Tapi seandainya suatu hari nanti aku betul-betul pergi ke luar negeri, menurutmu apakah di sana ada gunung yang ada bunga edelweiss-nya ya?
Edelweiss_man : Mana aku tahu! Aku belum pernah pergi ke luar negeri.
Josephine_jo : Ada atau tak ada bunga edelweiss di sana, tentu aku akan merindukanmu, Edelweiss.
***
Edelweiss. Ketika kuliah dulu, kerap aku mendaki gunung dan mendapati bunga edelweiss tumbuh liar di tengah hutan. Terkadang lama sekali aku berjongkok, dan tiada henti memandangi bunga-bunga mungil itu dengan perasaan takjub.
Tatkala teman-teman pendakianku berebutan memetik dan memasukkannya ke dalam kantong jaket secara sembunyi-sembunyi, aku cukup puas hanya dengan memandangi mahkota bunganya yang berbentuk lancip-lancip unik. Bagiku, percuma saja memetik bunga berwarna putih salju itu, membawanya turun gunung, kemudian berniat memilikinya. Dan anggapanku memang terbukti benar. Ketika sampai di dataran rendah, edelweiss yang dikantongi oleh teman-temanku itu menjadi kering lalu mati.
Bagiku, bukan seperti itu yang dinamakan mengagumi secara tulus. Hal seperti itu hanya sebuah obsesi yang merugikan, karena tidak memberi ruang bebas kepada edelweiss untuk menghirup udara di dunianya sendiri.
Dulu, aku mengagumi bunga edelweiss ketika dalam perjalanan mendaki gunung. Bertahun-tahun kemudian, tanpa kusadari aku justru mulai mengagumi Edelweiss yang lain. Bukan kekaguman yang cukup berarti sebetulnya, karena Edelwiess yang ini bukanlah siapa-siapa.
Kekagumanku padanya pun hanya sebatas ketika aku membaca tulisan-tulisan yang menjadi prinsip hidupnya. Salah satu kalimat yang ditulisnya berbunyi seperti ini : ‘Percuma saya hidup dalam gelimang derajat kekuasaan dan uang, jika saya tidak bisa memberlakukan keadilan bagi orang yang lemah dan buta hukum’.
Bagi orang lain, Edelweiss tak lebih dari seseorang tak kasat mata yang hanya bisa kutemui di kolom chatting. Tetapi bagiku, ia adalah seorang lelaki nyata bertubuh jangkung, yang pernah kujumpai bertahun-tahun lalu di kampus kami.
Aku memang lupa wajah Edelweiss. Yang tersisa dari ingatanku tentang dirinya, hanyalah bahunya yang lebar terbungkus jaket blue jeans dengan lengan ditekuk. Dulu ia adalah mahasiswa paling sibuk di kampus, dan kami tak pernah benar-benar mengenal satu sama lain. Hingga, bertahun kemudian, kami bertemu melalui dunia maya dan menjadi teman dekat di kolom semu itu.
Edelweiss_man : Apa sih cita-citamu? Kamu kan sudah punya pekerjaan yang mapan. Kurang apa lagi?
Josephine_jo : Aku punya banyak cita-cita. Aku ingin jadi penulis, guru, dosen, punya sekolah nirlaba untuk anak-anak terlantar, memiliki perpustakaan dan….mmm….aku ingin sekali mencari beasiswa S2 di Alaska.
Edelweiss_man : Alaska?
Josephine_jo : Iya, Alaska. Memangnya kenapa? Ada yang lucu?
Edelweiss_man : Tidak juga. Hanya saja…tempat itu kan sangat jauh. Mengapa harus Alaska?
Josephine_jo : Karena aku ingin merasakan iklim subpolar di sana. Karena aku ingin menikmati keindahan Gunung Edgecumbe yang diselimuti salju. Karena aku ingin duduk di bangku taman pada pukul 9 malam, namun dengan langit yang tampak seperti pukul 4 sore.
Edelweiss_jo : Hmm, it sounds nice. I hope it will be true.
Josephine_jo : Kuharap juga demikian. Lalu, apa cita-citamu? Kau sudah menjadi hakim muda yang bermasa depan. Apa lagi yang kauinginkan?
Edelweiss_man : Menjadi hakim yang jujur, tentu saja itu yang kuinginkan! Mmm…mungkin terdengar kuno, tapi cita-citaku selanjutnya adalah menikahi gadis pujaanku.
Josephine_jo : Kau tak pernah bercerita punya gadis pujaan.
Edelweiss_man : Aku punya, sebenarnya. Hanya saja aku tidak pernah punya kesempatan untuk menceritakannya padamu. Di desa orang tuaku, dia adalah kembang desa. Aku jatuh hati padanya ketika orang tuaku menawarkan perjodohan dengannya. Bahkan, aku sudah memikirkan sebuah rencana.
Josephine_jo : Oh ya?
Edelweiss_man : Ya, ketika aku naik jabatan nanti, aku berniat meminangnya, Jos. Bagaimana menurutmu?
Josephine_jo : Yeah, I think it will be great.
Di depan layar monitor, aku tersadar, mataku memerah. Tentu saja tanpa sepengetahuan Edelweiss. Jantungku berdegup tak beraturan. Lalu, seperti ada beban berat menggelayut di relung hatiku. Jemariku bergetar tanpa alasan. Bukan, kurasa bukan tanpa alasan, karena aku tahu benar apa yang menjadi alasannya. Aku kecewa mendengar Edelweiss akan segera meminang gadis pujaannya. Aku kecewa, karena baginya, aku bukanlah siapa-siapa. Aku tidak lebih dari seseorang tak nyata di kolom semunya.
Seminggu setelah percakapan terakhirku bersama Edelweiss, professor Dauenhauer mengirimiku e-mail. Beliau mengatakan permohonan beasiswaku diterima!
Ingin sekali kubagi kebahagiaanku dengan Edelweiss, tetapi sayang, ia tidak pernah muncul lagi. Mungkin saja dia telah menemukan kebahagiaannya sendiri di dunia nyata. Tiba-tiba saja, aku merasa kehilangan Edelweiss, ketika tak menemukan indikator online menyala di sebelah namanya di list Yahoo Messenger. Aku merindukannya, meski dalam anganku, aku sama sekali tak mampu menggambarkan seperti apa wajahnya.
Aku berangkat menuju Sitka, tanpa sempat memberitahu Edelweiss. Mungkin, ia pun tak akan ambil pusing seandainya tahu tentang kepergianku. Aku berangkat dengan hati patah. Namun,aku tidak pernah ingin menyesali perasaanku dan pertemuanku dengan Edelweiss dengan cara aneh itu.
***
Hari terakhirku berada di Sitka. Aku sengaja meluangkan waktu untuk duduk bersantai di balkon paviliun yang kusewa selama aku belajar di sini. Paviliun itu menghadap ke dermaga, sehingga aku bisa melihat kapal-kapal yang berlabuh di sana.
Saat itu bulan Oktober. Suhu hari itu cukup hangat. 11 derajat celcius. Mengingat suhu terendah bulan Oktober di Sitka mencapai 5,3 derajat celcius. Aku menyesap coklat hangat sambil memandangi langit Sitka yang entah kapan bisa kutatap kembali. Di sampingku, gunung Edgecumbe bertopi salju membuat hatiku begitu enggan beranjak pergi meninggalkan semua kenyamanan dan mimpi indah di sini.
Beberapa hari setelah aku diwisuda, professor menawariku untuk menjadi asistennya. Namun aku menolak. Kukatakan padanya aku harus pulang ke tanah airku sendiri.
“Many people had been awaiting for my arrival there, Sir. As you know, my dreams haven’t end up yet, although I had finished my study here,” kataku pada lelaki tua yang mirip Santa Clause itu.
“So, what’s your next plan after your going home?”
“I’ve planned many things, Sir. But, before all of those, I need to meet someone first. In Jakarta,”
***
Memang, banyak hal yang kulakukan setibanya di negeriku. Salah satunya adalah mengunjungi rumah tahanan di Salemba.
Sejak di Sitka, tidak serta merta aku menutup mata terhadap berita-berita aktual yang terjadi di tanah air. Situasi politik yang memanas, kurs rupiah yang tak stabil, dan berita mengenai pejabat korup yang kian bertambah setiap harinya. Semua kuikuti secara seksama melalui internet, baik di setiap pagi yang hangat maupun di malam bersalju.
Salah satu dari konten berita itu pula yang membuatku yakin untuk kembali pulang. Ya, berita yang memuat nama lengkap Edelweiss Joseph Prawiro Wicaksono , sebagai salah satu nama hakim yang terlibat dalam sebuah kasus suap. Aku tidak akan pernah lupa rangkaian nama tak lazim itu, dengan kata kedua yang mirip dengan namaku, Joseph – Josephine.
***
Aku tak perlu lagi mengira-ngira seperti apa wajahnya ketika aku begitu merindukannya, karena wajah lelaki jangkung itu kini berada tepat di hadapanku. Ketika kukatakan padanya bahwa salah satu cita-citaku telah terwujud, ia tertunduk menahan air mata sambil berbisik,
“ Di saat kau berhasil meraih mimpimu, aku justru menghancurkan cita-citaku dan mengingkari prinsip hidupku.”
“Banyak hal yang membuat orang berubah pikiran dalam jangka waktu tertentu, Ed. Mungkin kau hanya lupa tentang cita-citamu. Percayalah, masih ada banyak hal baik yang bisa kau lakukan setelah keluar dari tempat ini. Aku pasti membantumu, untuk itulah aku kembali pulang. Untuk menemuimu di dunia nyata,” ujarku pelan sambil meremas jemarinya.
Jakarta, Januari 2010
Dimuat di Chic Magazine Edisi 61 (21 April – 5 Mei 2010) hal 115
Bagus mba… pemilihan kata2mu dewasa sekali… tapi tampaknya klo di dunia nyata si Josephine pasti udah nikah ama bule trus lupa ma Joseph xixixixi